Selasa, 07 Februari 2017

PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN: DARI REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION

PERUBAHAN EKOLOGI PERTANIAN: DARI REVOLUSI HIJAU KE SYSTEM OF RICE INTENSIFICATION
Oleh Rina Mardiana dan Soeryo Adiwibowo
Resume
Itensifikasi dan penyeragaman sistem pertanian dimulai sejak tahun 1960, dimana pemerintah
mengeluarkan kebijakan yang mengarah pada intensifikasi sistem pertanian pangan, yaitu berupa Revolusi Hijau. Program ini mengintensifkan penggunaan bibit varietas unggul, pestisida dan pupuk kimia, serta jairngan irigasi, namun program ini lebih fokus pada tanaman padi. Hingga pada puncaknya di tahun 1984, Indonesia telah berhasil melakukan swasembada beras.
Dibalik kesuksesan yang dicapai Indonesia tersebut, terdapat beberapa masalah dalam tingkat mikro, yaitu aspek ekologis, sosial-ekonomi, dan budaya. Pada aspek ekologis terjadi uniformitas bibit akibat pendekatan monokultur. Pada aspek sosial-ekonomi dan budaya terjadi pengikisan berbagai pengetahuan lokal dibidang pertanian, kerentanan petani terhadap produk-produk industri pertanian serta terjadinya involusi pertanian dan pembagian kemiskinan (shared poverty).
Tidak hanya di bidang pertanian, Revolusi Hijau juga terjadi bidang perikanan, yaitu Revolusi Biru. Dimana terjadi monokulturisme pada pertambakan udang. Satu jenis udang ditebar di tambak dengan input tinggi berupa pestisida, antibiotik, dan pakan buatan. Karena hal itu, pada tahun 1990 tambak udang menghadapi endemik virus udang yang berlangsung selama empat tahun.
Kondisi ini diperparah lagi dengan dukungan pemerintah dan lembaga penelitian yang mendukung dan mensukseskan aneka revolusi monokultur. Seluruh perangkat kebijakan dan intensif ekonomi di bidang pertanian diarahkan pada pertanian intensif dan monokultur. Dengan kata lain, sistem pertanian lokal tidak hanya diabaikan, tapi juga telah disingkirkan secara sistematik.
Selain revolusi monokultur, terdapat masalah lain yang krusial yaitu Konversi Lahan Subur. Setiap tahun konversi lahan pertanian subur diperkirakan mencapai 30 ribu hektar per tahunnya, dimana sebagian besar terjadi di pulau jawa. Padahal jawa memiliki produktivitas padi tertinggi, yaitu 5,2 ton/ha, Sumatera 3,7 ton/ha, dan Kalimantan 2,6 ton/ha. Ditengah kerugian itu, pemerintah justru mencetak sawah baru di luar jawa yang pada akhirnya menimbulkan masalah baru yang lebih kompleks.
Berbeda dengan negara Eropa dan negara maju lainnya, dimana petani memperoleh bebagai dukungan materil dan sosialisasi yang cukup, petani di Indonesia justru menjadi kelompok yang paling tidak bisa memperoleh haknya. Hal ini berimplikasi pada ekonomi, sosial, bahkan pada keluarganya, dimana anak anaknya tidak mendapatkan kesehatan dan pendidikan yang cukup.
Namun pada tahun 1997, Indonesia mengalami perubahan yang sangat derastis. Dimana dimulainya proses ekologi yaitu Sistem Itensifikasi Padi (System Of Rice Intensification – SRI). Metode SRI merupakan teknologi berkelanjutan yang menguntungkan petani karena memberikan hasil produksi lebih tinggi. Dan pada prakteknya, berhasil memperbaiki mutu tanah, mencegah hama penyakit, penghematan benih, peningkatan jumlah dan berat bulir per malai, serta meningkatkan hasil panen sebanyak 6-10 ton per hektar.
MANFAAT KEARIFAN EKOLOGI TERHADAP PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP
Studi Etnoekologi Di Kalangan Orang Biboki
Oleh Yohanes Gabriel Amsikan
Resume
Wilayah Biboki merupakan daerah sabana, yakni padang rumput yang luas diselingi belukar yang tidak begitu lebat. Munculnya padang sabana, karena sistem ladang berpindah. Di satu pihak, sistem ini menjadi kearifan dan adaptasi ekologis karena secara tidak langsung dalam proses pemulihan kesuburan tanah. Namun pada kenyataannya, tanah tidak langsung pulih, justru ada yang rusak bahkan hingga gundul yang menyebabkan kerugian.
Kearifan ekologi dalam hal ini artinya sebagai tindakan masyarakat Biboki dalam upaya melangsungkan kehidupannya, yang selaras dengan lingkungan tanah kering (meto) yang mereka kenal. Orang Biboki memiliki pengetahuan mengenai tubuh manusia dengan segala sifat perilakunya, pengetahuan tentang bergantian musim, serta pengetahuan tentang jenis tanah yang cocok untuk pertanian. Namun kearifan ekologi yang dikaji dari pengetahuan orang Biboki masih sederhana, dan tidak memiliki cukup pengetahuan.
Bagaimanapun, kearifan ekologi dan budaya tidak dapat dipisahkan dengan orang Biboki. Terbukti dalam presepsi orang Biboki terhadap tanah yang dianggap senantiasa memelihara dan memberikan kesuburan pagi tanaman petani. Selain itu keyakinan akan yang tersembunyi di masa lampau juga masih ada dalam diri Raja Biboki yaitu Usi Koko. Kesakralan raja ini membuat orang Biboki respek terhadap rajanya, dan memegang teguh kebenaran yang dikisahkan turun menurun melalui mitos mitos yang ada.
Terdapat beberapa kendala yang dihadapi petani Biboki. Pertama, kurangnya tenaga kerja produktif. Kedua, pekerja foi sangat menguras energi, dari pada menebas hutan. Ketiga, setiap ladang baru memerlukan pagar, agar terlindung dari serangan ternak. Usaha dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Biboki tetap saja membuat hutan sabana tetap gundul, bahkan semakin parah. Ini membuktikan bahwa pola adaptasi dan strategi harus dilakukan oleh orang Biboki. Namun mirisnya hal ini dipandang lain oleh masyaerakat Biboki, dimana kegundulan merupakan sebuah keuntungan. Karena dapat dijadikan tempat untuk penggembalaan hewan ternak.
Untuk itu pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi hal tersebut, yang kebanyakan cenderung bertentangan dengan orang Biboki. Dari program relokasi pemukiman, larangan pembukaan lahan serta larangan menggembalakan ternak secara bebas.
Analisis
  1. Tunjukkan unsur unsur inti kebudayaan yang terdapat pada bahan bacaan 1 dan 2. Jelaskan jawaban saudara.
Jawab:
Pada bacaan 1
  • Teknologi sebagai sarana eksploitasi SDA: Metode SRI yang merupakan teknologi berkelanjutan yang telah ada sebelumnya, yang digunakan untuk mempermudah pengeksploitasi SDA (bertani) yang telah menguntungkan petani pada saat itu.
  • Pola perilaku sebagai sarana eksploitasi SDA: Konversi lahan pertanian. Dimana lahan pertanian di jawa dipersempit. Padahal lahan pertanian paling subur terletak di jawa.
  • Faktor Demografi dan tataguna tanah: Pemanfaatan lahan sawah dengan pertanian monokultur. Yang awalnya merupakan kebijakan pemerintah menjadi sebuah kebudayaan yang berimplikasi pada masalah lain, yaitu generasi muda yang menjadi tergantung pada kebutuhan padi sehingga pemanfaatan lahan sawah kebanyakan digunakan untuk pertanian monokultur (padi).

Pada bacaan 2
  • Teknologi sebagai sarana eksploitasi SDA: Pekerjaan sistem foi. Teknologi penggunaan lahan serta pengolahan lahan. Pada sistem foi, lahan gundul tanahnya dibalik, sistem ini membutuhkan energi yangs sangat banyak.
  • Pola perilaku sebagai sarana eksploitasi SDA: Anggapan bahwa lahan tanah sebagai ibu, yang memelihara dan memberikan kesuburan pagi tanaman petani.
  • Faktor demografi pola pemikiman: Masyarakat Biboki tidak menetap, dalam pemanfaatan lahan sawah dilakukan secara berpindah sesuai dengan kondisi lahan alamnya (peladang berpindah).
  1. Manakah sistem pertanian pangan yang adaptif dengan kondisi ekologi dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat? Apakah pertanian intensif input (revolusi hijau) atau pertanian dengan teknologi SRI? Jelaskan jawaban saudara.
Jawab:
Sistem pertanian pangan yang lebih adaptif yaitu System Of Rice Intensification (SRI). Karena SRI selain memberikan teknologi yang benar dalam penanaman di lahan sawah, SRI juga berdampak positif bagi lahan sawah dalam jangka waktu yang panjang. Dimana Teknologi sistem SRI, dapat memperbaiki mutu tanah, mencegah hama penyakit, penghematan benih, peningkatan jumlah dan berat bulir per malai, serta meningkatkan hasil panen sebanyak 6-10 ton per hektar. Sistem SRI jauh lebih efektif dan baik daripada Revolusi Hijau, yang cenderung hanya memanfaatkan tanaman monokultur (padi), serta berdampak buruk dalam jangka panjang (lahan rusak, produksi menurun, tumbuhnya penyakit endemik pada ladang).

0 comments:

Posting Komentar