Selasa, 07 Februari 2017

MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI

MODEL KELEMBAGAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI
Oleh :Djuhendi Tadjudin
Resume

Ditengah pesatnya kemajuan di era globalisasi ini banyak yang telah berubah, namun tidak untuk suku Badui. Suku Badui tetap mempertahankan budayanya meski banyak pengaruh asing yang masuk. Mereka tahu persis, bahwa diluar sana banyak pilihan yang ada, namun secara tegas mereka menolaknya dan tetap menjunjung tinggi nilai kebudayaan mereka.
Era globalisasi mengubah sektor sektor menjadi lebih mengglobal. Namun sebaliknya pengelolaan sumber daya hutan semakin melokal. Kartodihardjo menuturkan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya hutan bersifat paradoksal. Eksploitasi hutan besar besaran tanpa diimbangi pemeliharaan yang benar, mendapat perhatian dunia internasional. Untuk itu, beliau mengusulkan untuk dilakukan penilaian ulang terhadap kebijakan pemerintah.
Dalam pengelolaan sumber daya terdapat beberapa persengketaan, yaitu persepsi, pengetahuan, tata nilai, kepentingan dan akuan terhadap hak kepemilikan. Persengketaan ini terjadi didalam pemerintah, masyarakat dan swasta.
Untuk itu ada pewujudan penyelesaian bentuk pengelolaan hutan yang juga mengakomodasi kepentingan masyarakat  yang dinamakan HKM (Hutan Kemasyarakatan). HKM ini mengakomodasi partisipasi masyarakat dan kearifan masyarakat lokal. Dalam prakteknya HKM dapat menghasilkan manajemen yang unik, yaitu masyarakat yang merupakan bagian eksternal menjadi internal. Keunggulan ini diadaptasi SKM (Surat Keputusan Mentri) tentang “Hutan Kemasyarakatan” yang justru memberatkan dalam beberapa hal yaitu makna, hak, batas Yurisdiksi, Koperasi, Sentralisme, Persepsi pemerintah, Going Concern Principle dan anggapan pemerintah terhadap masyarakat sebagai perusahaan.
Tujuan pengelolaan hutan produksi agar masyarakat mampu menentukan pilihan sikap yang paling bijaksana dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Adapun bentuk pilihan masyarakat itu harus mencapai hasil akhir efisien, keadilan dan kepatuhan, keberlanjutan dan pemeliharaan keanekaragaman sumberdaya hayati. Format kelembagaan hendaknya mengandung unsur-unsur pokok yaitu: batas yuridiksi, aturan main dan aturan perwakilan.
Norma yang paling penting di dalam bacaan adalah norma hukum. Buktinya adalah keputusan mentri Kehutanan dan Perkebunan. Kontrol sosial tanpa kekerasan tetapi kontrol sosial terdapat pada pemerintah.
  SISTEM BAGI HASIL DI JAWA TENGAH  PENELITIAN HUKUM PEMILIKAN TANAH DI SEBUAH DAERAH PERTANIAN YANG PENDUDUKNYA SANGAT PADAT
Oleh :Warner Roell
Resume
Salah satu hal terpenting dalam pertanian di Indonesia adalah sistem bagi hasil. Adanya UU Agraria menjadikan hasil panen rendah, bahkan dari 50% penggarap, hanya 30-40 % hasil yang didapatkan. Pada daerah lain yang padat penghuninya juga menunjukkan hasil buruk yang membuktikan bahwa statistik sistem bagi hasil Indonesia sangat tidak memadai. Penggarap bagi hasil dengan buruh tani sama Yang dimana memiliki upah yang relatif sama meskipun berperan penting dalam pertanian Indonesia dan Asia Tenggara. Sulitnya menuliskan kontrak yang biasanya hanya melalui lisan. Kurangnya pemahaman / pengetahuan tentang penjual tanah. Sebab, tidak jarang pemilik tanah tersebut berhutang kepada pemberi kredit yang lalu mengawasi sebagian besar panen. Hal ini mencerminkan semakin meningkatnya jumlah penduduk tani yang menganggur.
Wilayah Surakarta hingga Jogjakarta merupakan tempat yang padat penduduk yang mengindikasikan buruknya sosio-ekonomi. Kurangnya modal dan tawaran berlebih serta sarana produksi berupa tenaga kerja membuat hasil yang sedikit. Pembagian warisan secara terselubung yang mengutamakan laki-laki   Kesempatan kerja di sektor industri sangat sedikit. Sedangkan kesempatan kerja pada industri rumah tangga kerajinan dan industri kecil pedesaan yang bersifat informal juga telah terisi penuh.
Produksi bahan makanan terutama beras melampaui kebutuhan penduduk, namun daya beli rendah, sehingga sering menyebabkan timbul masalah pangan yang gawat. Akibat kelemahan struktur pertanian dan tidak adanya cadangan tanah, maka jumlah lapisan penduduk pertanian yang tidak memiliki tanah terus meningkat. Sistem bagi garap yang menyebar luas merupakan pencerminan kekurangan tanah dan tidak adanya peluang pekerjaan alternatif. Rata-rata pemilik hewan adalaah pemimpin-pemimpin desa. Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai. Pembagian panen antar penggarap dan pemilik tanah sebesar 6:4 yang dipropogandakan oleh PKI telah dilarang dan Undang-Undang penggarapan tahun 1960. Dengan bagi hasil pemilik tanah dan penggarap mendapatkan 1:1 hasil panen kotor untuk padi, dan 1:2 untuk palawija di sawah, tidak menunjukkan keberhasilan. Sebagai ukuran dasar pembanding bagi hasil adalah kualitas tanah, letak tanah, bentuk pengolahan, hasil tanaman dan sebagainya. Bentuk-bentuk dasar bagi hasil ada tiga yaitu, sistem maro, sistem mertelu, dan sistem mrapat.
Demi perbaikan kepentingan sosial yang dibutuhkan, maka harus dilakukan penghapusan situasi buruk sistem bagi hasil di Jawa yang telah digambarkan. Pelaksanaan Undang-Undang Agraria 1960 hanya merupakan langkah pertama yang penting untuk mengantar ke prose perubahan sosial yang lebih baik. Usaha-usaha selanjutnya dirancang serasi dalam bidang pertanian, bidang politik kependudukan, usaha industrial dan infrastruktur, harus terus diupayakan.
Analisis Bacaan I

  1. Identifikasi kelembagaan sosial yang ada menurut penggolongan “Uphoff” (1992) berdasarkan sektor sektor sosial! Jelaskan alasannya! Adakah persamaan dan perbedaan?
  2. Dari kelembagaan-kelembagaan yang telah diidentifikasi, tetapkan norma-norma yang mengatur perilaku orang-orang dalam kelembagaan tersebut! Lalu berdasarkan kuat atau lemahnya ikatan yang dimiliki tersebut (Moral dan Masyarakat), tentukan tingkatan normanya!
  3. Tunjukkan dan jelaskan apakah kelembagaan-kelembagaan sosial yang telah diidentifikasi berfungsi sebagai kontrol sosial!
Jawab :
  1. Pada bacaan  “Model Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi” masuk dalam Sektor Publik. Karena mencakup administrasi dan pemerintahan lokal dengan birokrasi dan organisasi politik sebagai organisasi mutakhir. Contohnya saja pemerintah lokal mengambil konsep HKM melalui keputusan menteri kehutanan.
  2. Tingkatan norma :
    1. Cara (usage) : Pihak swasta menggunakan cara yang tidak memperdulikan lingkungan demi mendapatkan keuntungan.
    2. Kebiasaan (folkways) : Kontrol pemerintah terhadap pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat.
    3. Tata-kelakuan (mores): Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKM) kapan saja dapat dicabut oleh menteri kehutanan, jika suatu saat hutan tersebut diperlukan untuk kepentingan umum.
    4. Adat(Customs) : Masyarakat Badui Luar di Kanakes, memakai pakaian serba hitam dengan ikat kepala biru – tua.
  3. Pada bacaan “Model Kelembagaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Alam Produksi” termasuk ke dalam kontrol sosial karena bertujuan mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Upaya yang dilakukan adalah bersifat represif(penjatuhan hukuman) dan dengan cara coersive (paksaan). Contohnya pemerintah yang mengatur dan mengelola hutan alam produksi milik masyarakat lokal.

Analisis Bacaan II

  1. Identifikasi kelembagaan sosial yang ada menurut penggolongan “Uphoff” (1992) berdasarkan sektor sektor sosial! Jelaskan alasannya! Adakah persamaan dan perbedaan?
  2. Dari kelembagaan-kelembagaan yang telah diidentifikasi, tetapkan norma-norma yang mengatur perilaku orang-orang dalam kelembagaan tersebut! Lalu berdasarkan kuat atau lemahnya ikatan yang dimiliki tersebut (Moral dan Masyarakat), tentukan tingkatan normanya!
  3. Tunjukkan dan jelaskan apakah kelembagaan-kelembagaan sosial yang telah diidentifikasi berfungsi sebagai kontrol sosial!

Jawab :
  1. Pada “Sistem Bagi Hasil di Jawa tengah”masuk dalam Sektor Partisipatori. Karena tumbuh dan dibangkitkan oleh masyarakat secara sukarela. Pada bacaan diatas terdapat persamaan yaitu munculnya penggarap yang sudah melembaga dan pemerintah yang telah mengeluarkan kebijakan atau peraturan tertentu.
  2. Tingkatan norma :
    1. Cara (usage) : Petani mendapatkan 50% lebih, sedangkan penggarap mendapatkan 30% sampai 40%, dari bagi hasil.
    2. Kebiasaan (folkways) : Kebiasaan masyarakat yang melakukan kontrak garapan secara lisan, dan membayar upah kerja atau imbalan jika meminjam hewan pembajak kepada peternak.
    3. Tata-kelakuan (mores) : Kelakuan kaum bangsawan yang mau memiliki segalanya di daerah kekuasaannya, termasuk tanah membuat penduduk tidak memiliki hak kepemilikan tanah.
    4. Adat (Customs) : Sistem bagi hasil merupakan   tradisi masyarakat di Jawa Tengah dan hukum pemilikan tanah feodal kerajaan   Surakarta dan Yogyakarta.
  3. “Kelompok sosial desa petani kenceng, petani gundul, yang memiliki tanah jauh lebih luas dar tanah desa yang ditunjukkan oleh pengukur desa, menyerahkan tanahnya untuk digarap dalam waktu tertentu dengan imbalan tunai”. Bacaan ini menunjukkan adanya kontak sosial antar sesama petani.

0 comments:

Posting Komentar